Rabu, 14 Januari 2015

CERPEN



Hai...... untuk kali ini, cerpen kelompokku. hahahahahaha
ini tugas dari guru bahasa Indonesia. mohon koreksinya...... :). Dan semoga bermanfaat

Gagalnya Sebuah Eksekusi

Entah apa yang ada di pikiran wanita itu, hingga harus berpanas-panasan berjalan di pinggiran sungai yang telah belasan tahun berbau tak sedap. Berk
ali-kali ia harus menyingkirkan sampah dan benda tajam di tengah jalan. Dua lembar kertas ia genggam dengan erat. Seakan ia tak rela kehilangan surat itu. Inilah alasan mengapa ia rela berjalan-jalan di siang bolong seperti ini.
Dari kejauhan, wanita itu melihat sebuah rumah yang lumayan besar jika dibanding dengan sekitarnya. Jangan pernah bayangkan rumah ‘besar’ itu bersih dan rapi dengan tanaman hias dan pohon palem di halaman rumahnya, salah besar. Jangankan bersih, bahkan kecoa pun tak rela bertelur di tempat sekumuh itu. Namun apapun keadaannya, wanita tadi telah bertekad. Ia harus tetap kesana.
Belum sempat wanita itu mengetuk pintu rumah, pintu itu tiba-tiba terbuka.
“Ah, Ibu Elina! Apa gerangan yang membuat Ibu mampir ke istana saya?” seseorang dengan jenggot lebat gimbal berkacak pinggang di ambang pintu.
Elina hanya diam. Matanya tersorot tegas, namun memelas.
“Ah, ya. Silakan masuk!”
Belumlah sempat sang tuan rumah membuka mulut untuk memulai pembicaraan, Elina menyodorkan satu surat yang ia bawa dari tadi.
“Ini surat dari Pemkot, Yog,” Yoga langsung membaca isi surat itu secepat ia bisa.
Keningnya tiba-tiba mengkerut, “Lomba kebersihan? Anda bercanda? Jelas kita kalah,”
“Saya tahu betapa buruknya kesadaran warga kita dalam hal kebersihan. Saya berkali-kali menyerukan budaya hidup bersih, namun hanya kau yang didengar oleh mereka.” Ujar Elina dengan nada memohon.
“Sekarang, apa guna kebersihan jika tak ada uang? Dari pada kita bersih-bersih, mending cari duit,” Yoga menyilangkan kedua kakinya diatas meja.
“Tapi kita butuh kebersihan. Bersih itu sehat, sehat bisa cari duit,” tukas Elina.
“Mereka hidup seperti ini sudah belasan tahun, tapi mereka tetap sehat.” kata Yoga dengan nada begitu santai.
“Kau tak ingat akhir-akhir ini banyak warga kita yang meninggal karena demam berdarah?” ujar Elina meradang.
“Hei, itu karena mereka begadang di tempat yang banyak nyamuk. Siapa suruh?” Yoga terdengar apatis.
“Coba kau keluar. Banyak sampah, banyak genangan air, banyak nyamuk. Itu penyebabnya,”
“Bicara anda mirip penyuluh yang ku usir setiap bulan,” ingin Elina saat itu juga meninju hidung Yoga.
Elina terdiam. Mukanya panas, ia menyodorkan surat kedua.
“Sekarang anda lebih mirip kurir, bukan kepala desa,” kata Yoga santai.
Tak seperti surat pertama, Yoga membutuhkan waktu lama untuk mencerna dan memastikan seluruh isi surat kedua ini. Bukan main berangnya Yoga saat dia benar-benar paham apa yang tertulis di surat itu. Penggusuran. Penyebabnya: kumuh.
“Nah, apa yang hendak kau lakukan?” tanya Elina.
Yoga hanya diam.
“Aku mafhum meski kau preman, kau tak pernah mau berurusan dengan pemerintah. Jika aku langsung memberi tahu isi surat ini pada warga desa, mereka akan langsung pergi mendemo pemerintah. Itu yang tak pernah kau inginkan, bukan?” ujar Elina pelan.
Pikiran Yoga berputar. Ia mencari cara agar kampungnya terbebas dari penggusuran. Hindari demo, warga desa akan langsung menunjuknya sebagai pemimpin demo dan dia akan berurusan dengan polisi. Polisi? Tidak, tidak. Yoga tak pernah ingin berurusan dengan makhluk picik bernama polisi lagi.
“Aku juga paham kau pernah dikecewakan aparat penegak hukum. Kau yang menolong, malah kau yang dipenjara. Coba kau baca lagi surat pertama, itu solusinya,” Yoga membaca ulang surat pertama yang dia dapat, “Hadiahnya lima ratus juta perdesa, cukup untuk mengganti biaya yang warga keluarkan selama persiapan lomba,” lanjut Elina.
Yoga menarik nafasnya perlahan, “Baiklah, saya terima,”
Sehari setelah pertemuan itu, Yoga menyuruh salah satu anteknya untuk mengumpulkan warga di balai desa. Setelah dirasa semua wargannya telah berkumpul, Yoga naik podium. Dilihatnya satu-satu wajah lelah warganya. Baru ia sadar, tak ada satu pun warganya yang berpenampilan rapi. Paling bagus setelan kaos kampanye hadiah pilpres beberapa bulan lalu dengan celana komprang dan tambalan disana-sini. Kadang ia merasa miris melihat keadaan warganya yang tak pernah ada perkembangan.
“Saudara-saudara, berapa warga kita yang meninggal pekan ini?” tanya Yoga dari atas podium.
“Tujuh!” teriak seseorang di pojokan. Belakangan diketahui ia Niken, salah satu dari tiga remaja yang memiliki pendidikan paling tinggi di kampung itu, lulus SMP.
“Apa penyebabnya?” Yoga bertanya lagi. Warga berharap ada seseorang yang berteriak menjawab lagi.
“Demam berdarah!” sebelah Niken berteriak. Itu Mer, pendidikannya sama seperti Niken.
“Nyamuk Aides Aegepty!” kini ganti sebelah Mer yang berteriak. Anid namanya
Selepas mendengar jawaban dari ketiga anak tadi, Yoga pun berfikir sangat keras hingga dia terlihat sangat aneh. Bahkan keringatnya keluar banyak seperti butiran jagung. Maklum lah dia sudah lama tak berfikir sekeras itu. Sontak Yoga berteriak sambil melompat kegirangan dan semua orang menaruh tatapan tajam padanya. “Ahaaaaa!!... Mulai sekarang lu,lu,lu pada harus bikin ini kampung bersih!”. Serentak para wargapun tercengang mendengar kata-kata mulia keluar dari mulut Si Preman Kampung.
“Jadi begini, ada lomba kebersihan antarkampung. Kalian tahu berapa hadiah yang ditawarkan? 100.115.500 rupiah. Kalian tahu apa artinya? Kita akan kaya. Kaya!!” Jelas Yoga.
Mata para warga berubah jadi hijau. Berkobarlah semangat para warga untuk mendapatkan uang itu, terutama Yoga.
Keesokan harinya, para warga telah berkumpul di depan sungai kebanggan mereka. Mereka telah bersiap dengan senjata mereka masing-masing. Ada yang membawa sabit, cangkul, sapu lidi, pengki, dan gerobak. Kepala Desa juga turut membantu warganya. Ternyata sedari tadi Kepala Desa sedang memerhatikan tiga gadis yang berani membuka suara saat para warga berkumpul di balai desa.
“Hai, Nak. Kalian bertiga, kemari,” seru kepala desa. Tiga anak itupun mendatangi Kepala Desa “Kalian bertanggung jawab untuk mengordinir kegiatan bersih-bersih ini. Mer, kamu bagian mengawasi sungai, Anid, bagian mengawasi semak-semak dan jalan, dan kamu Niken, awasi bagian sampah dan tempat pembuangan. Kerjakan sebaik baiknya karena ini menyangkut kampung kita” Tegas Kepala Desa.
Mereka menganggung serentak. Tanpa banyak bicara mereka langsung menuju area masing-masing dan langsung membagi tugas kepada warga.
Dari kejauhan tampak Yoga sedang membereskan tumpukan sampah yang menggunung di sepanjang bibir sungai. Ini adalah kejadian yang sangat langka. Seorang preman kampung rela mengotori dirinya demi membersihkan kampung tercintanya. Tak banyak warga yang mengeluh hari itu. Mereka semua melakukannya dengan ceria meskipun panas matahari sangat menyengat siang itu.
“Bu, ada surat dari pemerintah” suara Niken memecah lamunan Sang Kepala Desa. “Oh, iya Nak. Terima kasih” jawab Elina. Mata Elina terbelalak lebar, ketika ia mengetahui bahwa besok akan ada utusan pemerintah yang akan meratakan kampungnya itu. “Tidak! Ini tidak boleh terjadi” gumam Elina dalam hati.
“Yoga! Di mana Yoga?” teriak Elina. Yoga berlari dengan tergopoh-gopoh menghampiri Elina. “Ada apa, Bro?” tanya Yoga. Disodorkannya surat dari pemerintah tersebut kepada Yoga. “Bagaimana kalau warga sampai tahu masalah ini?”tanya Elina. “Kita harus mencegahnya. Agar mereka tak bisa masuk ke kampung kita.” Jawab Yoga diplomatis.
Secara tiba-tiba, segerombolan warga datang menghampiri Elina dan Yoga. Mereka mengepung Elina dan Yoga untuk menanyakan tentang kebenaran isu yang disebarkan oleh Niken. “Apakah benar kampung ini akan digusur, Bu??” tanya Mer. “aa-aa-aanu, Mer.. Aa-aa- aanu..” Elina menjawab kebingunan. “Kata siapa!?” Yoga menyerobot. Serentak semua warga menunjuk kearah Niken.
Yoga menghela nafas. Ia mencoba menjelaskan kepada warga tentang kebenaran berita penggusuran yang Niken sebarkan kepada warga. Ia juga menerangkan bahwa lebih baik hidup bersih dengan hadiah uang daripada hidup kotor dan digusur. Warga yang awalnya sempat marah karena isu penggusuran tersebut akhirnya menerima penjelasan Yoga dan merekapun kembali bekerja keras untuk membersihkan kampung tercintanya.
Mereka rela lembur hingga pagi membersihkan seluruh kampung. Bapak-bapak dan para pemuda membersihkan jalan dan sungai sedangkan ibu-ibu menyediakan makan untuk para pekerja. Anak-anak tak kalah sibuk memunguti sampah dan mencabuti rumput. Niat warga juga berganti yang awalnya memperjuangkan hadiah kini menjadi mempertahankan kampung meraka.
Keesokan harinya, segerombolan pasukan berbaju hijau bertuliskan ‘SATPOL PP’ datang dengan berbagai alat berat. Yoga dan Elina menghadang alat berat itu dengan wajah ketakutan. “Ber-ber-berhenti!!” teriak Anid dari kejauhan.
“Apa yang kalian lakukan di sini? Hendak menggusur kami? Atas alasan apa kalian menggusur kami? Kumuh? Kalian tidak melihat, betapa bersihnya kampung kami,” cerocos Elina tanpa jeda.
Seorang petugas yang terlihat paling besar dan paling berkuasa melihat sekeliling kampung. Wajahnya yang garang menelisik setiap sudut kampung. Martil yang ia bawa terayun-ayun menyeramkan. “Oke, cin. Yuk capcus.” Tak dikira, ternyata tampang dan sikapnya tak sama.
Setelah suasana sempat menegang karena para SATPOL PP berencana menggusur hingga membawa alat berat, kini suasana sudah mulai stabil dan warga kembali bersemangat untuk membersihkan kampung demi mendapatkan hadiah.
Hari demi hari mereka lalui dengan menjaga kebersihan hingga tak ada sampah sekecilpun. Semua sampah mereka daur ulang dan menghasilkan uang. Hingga hari penjurian pun tiba. Meski wajah mereka terlihat biasa, semua juri heran dengan perubahan suasana kampung itu. Tampang mereka pun masih sama hingga mereka pulang, namun mereka merasa bangga dengan perubahan itu.
Hari pengumuman tiba, para warga berkumpul di lapangan kota. “Mereka juga ikut?” ujar seorang warga dari kampung lain saat melihat kampung pimpinan Elina memasuki lapangan. “Eh, bukannya kampung mereka mau digusur karena kumuh? Pasti mereka kalah,” teriak warga lain saat Yoga lewat.
Lagi-lagi, Yoga mengeluarkan kata-kata mulianya. “Warga sekalian, kita di sini bukan untuk menang namun  membuktikan bahwa kampung kita bisa bersih dan lolos dari penggusuran. Jadi, jangan berkecil hati jika kampung kita tak memenangkan hadiah. Paling tidak kita tahu, bahwa hidup bersih itu lebih indah dan berharga mahal.” Warga mengangguk setuju.
“Hadirin yang berbahagia!” Seru seorang MC diatas panggung. “Kini saatnya pengumuman juara satu Lomba Kebersihan Tingkat Kota yang memperebutkan piala Walikota Cup.” Semua hening, berdebar menanti pengumuman. “Dan, pemenangnya adalah..” suasana lapangan makin hening, jangkrik pun tak ingin bersuara. “Kampung pimpinan Ibu Elina!!” Hening lagi. Semua kaget, tak disangka kampung sekumuh itu memenangkan lomba kebersihan ini.
Tak sia-sia perjuangan Elina, Yoga, tiga gadis pintar, dan semua warga membersihkan kampung. Penggusuran gagal, hadiah pun ditangan. Kini mereka sadar bahwa hidup bersih tak sesulit yang mereka pikirkan. Hanya butuh kemauan, kerja keras, dan pengorbanan.
Terkadang sesuatu yang baik berawal dari paksaan. Dan sesuatu yang baik itu hanya butuh dikembangkan dan dipertahankan.

0 komentar:

Posting Komentar