Hai...... untuk kali ini, cerpen kelompokku. hahahahahaha
ini tugas dari guru bahasa Indonesia. mohon koreksinya...... :). Dan semoga bermanfaat
ini tugas dari guru bahasa Indonesia. mohon koreksinya...... :). Dan semoga bermanfaat
Gagalnya Sebuah Eksekusi
Entah apa yang ada di pikiran
wanita itu, hingga harus berpanas-panasan berjalan di pinggiran sungai yang
telah belasan tahun berbau tak sedap. Berk
ali-kali ia harus menyingkirkan sampah dan benda tajam di tengah jalan. Dua lembar kertas ia genggam dengan erat. Seakan ia tak rela kehilangan surat itu. Inilah alasan mengapa ia rela berjalan-jalan di siang bolong seperti ini.
ali-kali ia harus menyingkirkan sampah dan benda tajam di tengah jalan. Dua lembar kertas ia genggam dengan erat. Seakan ia tak rela kehilangan surat itu. Inilah alasan mengapa ia rela berjalan-jalan di siang bolong seperti ini.
Dari kejauhan, wanita
itu melihat sebuah rumah yang lumayan besar jika dibanding dengan sekitarnya.
Jangan pernah bayangkan rumah ‘besar’ itu bersih dan rapi dengan tanaman hias
dan pohon palem di halaman rumahnya, salah besar. Jangankan bersih, bahkan
kecoa pun tak rela bertelur di tempat sekumuh itu. Namun apapun keadaannya,
wanita tadi telah bertekad. Ia harus tetap kesana.
Belum sempat wanita itu
mengetuk pintu rumah, pintu itu tiba-tiba terbuka.
“Ah, Ibu Elina! Apa
gerangan yang membuat Ibu mampir ke istana saya?” seseorang dengan jenggot
lebat gimbal berkacak pinggang di ambang pintu.
Elina hanya diam.
Matanya tersorot tegas, namun memelas.
“Ah, ya. Silakan
masuk!”
Belumlah sempat sang
tuan rumah membuka mulut untuk memulai pembicaraan, Elina menyodorkan satu
surat yang ia bawa dari tadi.
“Ini surat dari Pemkot,
Yog,” Yoga langsung membaca isi surat itu secepat ia bisa.
Keningnya tiba-tiba
mengkerut, “Lomba kebersihan? Anda bercanda? Jelas kita kalah,”
“Saya tahu betapa
buruknya kesadaran warga kita dalam hal kebersihan. Saya berkali-kali
menyerukan budaya hidup bersih, namun hanya kau yang didengar oleh mereka.”
Ujar Elina dengan nada memohon.
“Sekarang, apa guna
kebersihan jika tak ada uang? Dari pada kita bersih-bersih, mending cari duit,”
Yoga menyilangkan kedua kakinya diatas meja.
“Tapi kita butuh
kebersihan. Bersih itu sehat, sehat bisa cari duit,” tukas Elina.
“Mereka hidup seperti
ini sudah belasan
tahun, tapi mereka tetap sehat.” kata Yoga dengan nada begitu santai.
“Kau tak ingat
akhir-akhir ini banyak warga kita yang meninggal karena demam berdarah?” ujar
Elina meradang.
“Hei, itu karena mereka
begadang di tempat yang banyak nyamuk. Siapa suruh?” Yoga terdengar apatis.
“Coba kau keluar.
Banyak sampah, banyak genangan air, banyak nyamuk. Itu penyebabnya,”
“Bicara anda mirip
penyuluh yang ku usir setiap bulan,” ingin Elina saat itu juga meninju hidung
Yoga.
Elina terdiam. Mukanya
panas, ia menyodorkan surat kedua.
“Sekarang anda lebih
mirip kurir, bukan kepala desa,” kata Yoga santai.
Tak seperti surat
pertama, Yoga membutuhkan waktu lama untuk mencerna dan memastikan seluruh isi
surat kedua ini. Bukan main berangnya Yoga saat dia benar-benar paham apa yang
tertulis di surat itu. Penggusuran. Penyebabnya: kumuh.
“Nah, apa yang hendak
kau lakukan?” tanya Elina.
Yoga hanya diam.
“Aku mafhum meski kau
preman, kau tak pernah mau berurusan dengan pemerintah. Jika aku langsung
memberi tahu isi surat ini pada warga desa, mereka akan langsung pergi mendemo
pemerintah. Itu yang tak pernah kau inginkan, bukan?” ujar Elina pelan.
Pikiran Yoga berputar.
Ia mencari cara agar kampungnya terbebas dari penggusuran. Hindari demo, warga
desa akan langsung menunjuknya sebagai pemimpin demo dan dia akan berurusan
dengan polisi. Polisi? Tidak, tidak. Yoga tak pernah ingin berurusan dengan
makhluk picik bernama polisi lagi.
“Aku juga paham kau
pernah dikecewakan aparat penegak hukum. Kau yang menolong, malah kau yang
dipenjara. Coba kau baca lagi surat pertama, itu solusinya,” Yoga membaca ulang
surat pertama yang dia dapat, “Hadiahnya lima ratus juta perdesa, cukup untuk
mengganti biaya yang warga keluarkan selama persiapan lomba,” lanjut Elina.
Yoga menarik nafasnya
perlahan, “Baiklah, saya terima,”
Sehari setelah
pertemuan itu, Yoga menyuruh salah satu anteknya untuk mengumpulkan warga di
balai desa. Setelah dirasa semua wargannya telah berkumpul, Yoga naik podium.
Dilihatnya satu-satu wajah lelah warganya. Baru ia sadar, tak ada satu pun
warganya yang berpenampilan rapi. Paling bagus setelan kaos kampanye hadiah
pilpres beberapa bulan lalu dengan celana komprang dan tambalan disana-sini.
Kadang ia merasa miris melihat keadaan warganya yang tak pernah ada perkembangan.
“Saudara-saudara,
berapa warga kita yang meninggal pekan ini?” tanya Yoga dari atas podium.
“Tujuh!” teriak
seseorang di pojokan. Belakangan diketahui ia Niken, salah satu dari tiga
remaja yang memiliki pendidikan paling tinggi di kampung itu, lulus SMP.
“Apa penyebabnya?” Yoga
bertanya lagi. Warga berharap ada seseorang yang berteriak menjawab lagi.
“Demam berdarah!”
sebelah Niken berteriak. Itu Mer, pendidikannya sama seperti Niken.
“Nyamuk Aides Aegepty!” kini ganti sebelah Mer
yang berteriak. Anid namanya
Selepas mendengar jawaban dari ketiga anak tadi, Yoga pun berfikir sangat
keras hingga dia terlihat sangat aneh. Bahkan keringatnya keluar banyak seperti
butiran jagung. Maklum lah dia sudah lama tak berfikir sekeras itu. Sontak Yoga
berteriak sambil melompat kegirangan dan semua orang menaruh tatapan tajam
padanya. “Ahaaaaa!!... Mulai sekarang lu,lu,lu pada harus bikin ini
kampung bersih!”. Serentak para wargapun tercengang mendengar kata-kata mulia
keluar dari mulut Si Preman Kampung.
“Jadi begini, ada lomba kebersihan antarkampung. Kalian tahu berapa hadiah
yang ditawarkan? 100.115.500 rupiah. Kalian tahu apa artinya? Kita akan kaya.
Kaya!!” Jelas Yoga.
Mata para warga berubah jadi hijau. Berkobarlah semangat para warga untuk
mendapatkan uang itu, terutama Yoga.
Keesokan harinya, para warga telah berkumpul di depan sungai kebanggan
mereka. Mereka telah bersiap dengan senjata mereka masing-masing. Ada yang
membawa sabit, cangkul, sapu lidi, pengki, dan gerobak. Kepala Desa juga turut
membantu warganya. Ternyata sedari tadi Kepala Desa sedang memerhatikan tiga
gadis yang berani membuka suara saat para warga berkumpul di balai desa.
“Hai, Nak. Kalian bertiga, kemari,” seru kepala desa. Tiga anak itupun
mendatangi Kepala Desa “Kalian bertanggung jawab untuk mengordinir kegiatan
bersih-bersih ini. Mer, kamu bagian mengawasi sungai, Anid, bagian mengawasi
semak-semak dan jalan, dan kamu Niken, awasi bagian sampah dan tempat
pembuangan. Kerjakan sebaik baiknya karena ini menyangkut kampung kita” Tegas
Kepala Desa.
Mereka menganggung serentak. Tanpa banyak bicara mereka langsung menuju
area masing-masing dan langsung membagi tugas kepada warga.
Dari kejauhan tampak Yoga sedang membereskan tumpukan sampah yang
menggunung di sepanjang bibir sungai. Ini adalah kejadian yang sangat langka.
Seorang preman kampung rela mengotori dirinya demi membersihkan kampung
tercintanya. Tak banyak warga yang mengeluh hari itu. Mereka semua melakukannya
dengan ceria meskipun panas matahari sangat menyengat siang itu.
“Bu, ada surat dari pemerintah” suara Niken memecah lamunan Sang Kepala Desa. “Oh, iya Nak.
Terima kasih” jawab Elina. Mata Elina terbelalak lebar, ketika ia mengetahui
bahwa besok akan ada utusan pemerintah yang akan meratakan kampungnya itu.
“Tidak! Ini tidak boleh terjadi” gumam Elina dalam hati.
“Yoga! Di mana Yoga?” teriak Elina. Yoga berlari dengan tergopoh-gopoh menghampiri
Elina. “Ada apa, Bro?” tanya Yoga. Disodorkannya surat dari pemerintah
tersebut kepada Yoga. “Bagaimana kalau warga sampai tahu masalah ini?”tanya
Elina. “Kita harus mencegahnya. Agar mereka tak bisa masuk ke kampung kita.”
Jawab Yoga diplomatis.
Secara tiba-tiba, segerombolan warga datang menghampiri Elina dan Yoga.
Mereka mengepung Elina dan Yoga untuk menanyakan tentang kebenaran isu yang
disebarkan oleh Niken. “Apakah benar kampung ini akan digusur, Bu??” tanya Mer.
“aa-aa-aanu, Mer.. Aa-aa- aanu..” Elina menjawab kebingunan. “Kata siapa!?”
Yoga menyerobot. Serentak semua warga menunjuk kearah Niken.
Yoga menghela nafas. Ia mencoba menjelaskan kepada warga tentang kebenaran
berita penggusuran yang Niken sebarkan kepada warga. Ia juga menerangkan bahwa
lebih baik hidup bersih dengan hadiah uang daripada hidup kotor dan digusur.
Warga yang awalnya sempat marah karena isu penggusuran tersebut akhirnya
menerima penjelasan Yoga dan merekapun kembali bekerja keras untuk membersihkan
kampung tercintanya.
Mereka rela lembur hingga pagi membersihkan seluruh kampung. Bapak-bapak
dan para pemuda membersihkan jalan dan sungai sedangkan ibu-ibu menyediakan
makan untuk para pekerja. Anak-anak tak kalah sibuk memunguti sampah dan
mencabuti rumput. Niat warga juga berganti yang awalnya memperjuangkan hadiah
kini menjadi mempertahankan kampung meraka.
Keesokan harinya, segerombolan pasukan berbaju hijau bertuliskan ‘SATPOL
PP’ datang dengan berbagai alat berat. Yoga dan Elina menghadang alat berat itu
dengan wajah ketakutan. “Ber-ber-berhenti!!” teriak Anid dari kejauhan.
“Apa yang kalian lakukan di sini? Hendak menggusur kami? Atas alasan apa kalian
menggusur kami? Kumuh? Kalian tidak melihat, betapa bersihnya kampung kami,”
cerocos Elina tanpa jeda.
Seorang petugas yang terlihat paling besar dan paling berkuasa melihat
sekeliling kampung. Wajahnya yang garang menelisik setiap sudut kampung. Martil
yang ia bawa terayun-ayun menyeramkan. “Oke, cin. Yuk capcus.”
Tak dikira, ternyata tampang dan sikapnya tak sama.
Setelah suasana sempat menegang karena para SATPOL PP berencana menggusur
hingga membawa alat berat, kini suasana sudah mulai stabil dan warga kembali
bersemangat untuk membersihkan kampung demi mendapatkan hadiah.
Hari demi hari mereka lalui dengan menjaga kebersihan hingga tak ada sampah
sekecilpun. Semua sampah mereka daur ulang dan menghasilkan uang. Hingga hari
penjurian pun tiba. Meski wajah mereka terlihat biasa, semua juri heran dengan
perubahan suasana kampung itu. Tampang mereka pun masih sama hingga mereka
pulang, namun mereka merasa bangga dengan perubahan itu.
Hari pengumuman tiba, para warga berkumpul di lapangan kota. “Mereka juga
ikut?” ujar seorang warga dari kampung lain saat melihat kampung pimpinan Elina
memasuki lapangan. “Eh, bukannya kampung mereka mau digusur karena kumuh? Pasti
mereka kalah,” teriak warga lain saat Yoga lewat.
Lagi-lagi, Yoga mengeluarkan kata-kata mulianya. “Warga sekalian, kita di
sini bukan untuk menang namun membuktikan bahwa kampung kita bisa bersih
dan lolos dari penggusuran. Jadi, jangan berkecil hati jika kampung kita tak
memenangkan hadiah. Paling tidak kita tahu, bahwa hidup bersih itu lebih indah
dan berharga mahal.” Warga mengangguk setuju.
“Hadirin yang berbahagia!” Seru seorang MC diatas panggung. “Kini saatnya
pengumuman juara satu Lomba Kebersihan Tingkat Kota yang memperebutkan piala
Walikota Cup.” Semua hening, berdebar menanti pengumuman. “Dan, pemenangnya
adalah..” suasana lapangan makin hening, jangkrik pun tak ingin bersuara.
“Kampung pimpinan Ibu Elina!!” Hening lagi. Semua kaget, tak disangka kampung
sekumuh itu memenangkan lomba kebersihan ini.
Tak sia-sia perjuangan Elina, Yoga, tiga gadis pintar, dan semua warga
membersihkan kampung. Penggusuran gagal, hadiah pun ditangan. Kini mereka sadar
bahwa hidup bersih tak sesulit yang mereka pikirkan. Hanya butuh kemauan, kerja
keras, dan pengorbanan.
Terkadang sesuatu yang baik berawal dari paksaan. Dan sesuatu yang baik itu
hanya butuh dikembangkan dan dipertahankan.
0 komentar:
Posting Komentar